Minggu, 29 Maret 2015

FASE – FASE PERKEMBANGAN USIA REMAJA SAMPAI DEWASA FASE – FASE PERKEMBANGAN USIA REMAJA SAMPAI DEWASA


·         Periode prakelahiran (prenatal period) :
Saat dari pembuahan hingga kelahiran. Periode ini merupakan masa pertumbuhan yang luar biasa dari satu sel tunggal hingga menjadi organisme yang sempurna dengan kemampuan otak dan perilaku, yang dihasilkan kira kira dalam periode 9 bulan.
·         Masa bayi (infacy) :
Periode perkembangan yang merentang dari kelahiran hingga 18 atau 24 bulan. Masa bayi adalah masa yang sangat bergantung pada orang dewasa. Banyak kegiatan psikologis yang terjadi hanya sebagai permulaan seperti bahasa, pemikiran simbolis, koordinasi sensorimotor, dan belajar sosial.
·         Masa awal anak anak (early chidhood) :
Periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah. Selama masa ini, anak anak kecil belajar semakin mandiri dan menjaga diri mereka sendiri, mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah (mengikuti perintah, mengidentifikasi huruf), dan meluangkan waktu berjam jam untuk bermain dengan teman teman sebaya. Jika telah memasuki kelas satu sekolah dasar, maka secara umum mengakhiri masa awal anak anak.
·         Masa pertengahan dan akhir anak anak (middle and late childhood) :
Periode perkembangan yang merentang dari usia kira kira enam hingga sebelas tahun, yang kira kira setara dengan tahun tahun sekolah dasar, periode ini biasanya disebut dengan tahun tahun sekolah dasar. Keterampilan keterampilan fundamental seperti membaca, menulis, dan berhitung telah dikuasai. Anak secara formal berhubungan dengan dunia yang lebih luas dan kebudayaan. Prestasi menjadi tema yang lebih sentral dari dunia anak dan pengendalian diri mulai meningkat.
·         Masa remaja (adolescence) :
Suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga.
·         Masa awal dewasa (early adulthood) :
Periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir pada usia tugapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh anak anak.
·         Masa pertengahan dewasa (middle adulthood) :
Periode perkembangan yang bermula pada usia kira kira 35 hingga 45 tahun dan merentang hingga usia enampuluhan tahun. Ini adalah masa untuk memperluas keterlibatan dan tanggung jawab pribadi dan sosial seperti membantu generasi berikutnya menjadi individu yang berkompeten, dewasa dan mencapai serta mempertahankan kepuasan dalam berkarir.
·         Masa akhir dewasa (late adulthood) :
Periode perkembangan yang bermula pada usia enampuluhan atau tujuh puluh tahun dan berakhir pada kematian. Ini adalah masa penyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali kehidupannya, pensiun, dan penyesuaian diri dengan peran peran sosial baru.
PERKEMBANGAN
Perkembangan dapat dibagi menjadi perkembangan fisik, perkembangan intelektual, perkembangan bahasa dan perkembangan psikososial. Perkembangan ini  merupakan suatu kesatuan yang utuh, pembagian tersebut semata-mata hanya untuk memudahkan pengamatan, diagnosis dan penanganan bila terdapat suatu penyimpangan.  Sebuah perkembangan  dikatakan mengalami penyimpangan jika menunjukkan hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya . Ke’semestian” ini, merupakan ciri perkembangan umumnya manusia. Misalnya, anak umur 2 tahun dikatakan memiliki penyimpangan fisik, jika pada usia ini dia belum mampu berjalan. Anak umur 3 tahun dikatakan memiliki penyimpangan emosi  jika pada usia ini ia belum mampu diajak berkomunikasi, dsb.
Berkaitan dengan hal itu,  dengan demikian penyimpangan atau kelainan perkembanganpun meliputi 4 aspek, yaitu kelainan fisik, mental/intelektual, bahasa dan psikososial.  Anak-anak yang mengalami penyimpangan atau kelainan  ini, dikalangan profesioanl disebut dengan anak-anak khusus. Disebut demikian, selain kekhususan perkembangannya, anak-anak dengan kelainan tertentu, memiliki kebutuhan dan cara perawatan yang khusus pula. Berikut akan dibahas secara garis besar.
A. Kelainan fisik
Perkembangan fisik dimulai sejak usia bayi dan berhenti ketika anak berusia sekitar 17 th. Pada masa bayi,  seseorang ada pada  masa ketergantungan penuh pada orang lain untuk bisa mempertahankan hidup.  Pada masa ini seseorang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang menghasilkan perubahan bertahap baik dalam ukuran, bentuk tubuh, perasaan hingga perilakunya 
Menurut tokoh-tokoh psikologi seperti H.E Erikson dan J. Piaget, kelainan fisik bisa meliputi terhambatnya perkembangan fungsi sensori motorik anak, utamanya dalam hal fungsi penglihatan, pendengaran dan fungsi otak.  Oleh karena itu, yang tergolong dalam  kelainan ini adalah
1.      Tuna  Netra
Tuna netra adalah orang yang memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada mata yang baik, walaupun dengan memakai kacamata, atau yang daerah penglihatannya sempit sedemikian kecil sehingga yang terbesar jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajad. Tunanetra dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu buta total dan kurang penglihatan (low vision).  Orang dikatakan buta total jika tidak dapat melihat dua jari di mukanya atau hanya melihat sinar atau cahaya yang lumayan dapat dipergunakan untuk orientasi mobilitas. Mereka tidak dapat menggunakan huruf selain huruf braille. Adapun mereka yang tergolong low vision, adalah mereka yang bila melihat sesuatu, mata harus didekatkan, atau mata harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya, atau mereka yang memiliki pemandngan kabur ketika melihat objek.
2.      Tuna Rungu.
Penderita tunarungu adalah mereka yang memiliki hambatan perkembangan indera oendengar. Tuna rungu  tidak dapat mendengar   suara atau bunyi. Dikarenakan tidak mampu mendengar suara atau bunyi, kemampuan berbicaranyapun kadang menjadi terganggu. Sebagaimana kita ketahui, ketrampilan berbicara seringkali ditentukan oleh seberapa sering seseorang mendengar  orang lain berbicara., akibatnya anak-anak tunarungu sekaligus memiliki hambatan bicara dan menjadi bisu. Untuk berkomunikasi dengan orang lain, mereka menggunakan bahasa bibir atau bahasa isyarat. Sebagaimana anak tuna netra, mereka memiliki potensi perkembangan yang sama dengan anak-anak lain yang tidak mengalami hambatan perkembangan apapun.
3.      Tuna daksa
Tunadaksa adalah penderita kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti tangan, kaki, atau bentuk tubuh. Penyimpangan perkembangan terjadi pada ukuran, bentuk atau kondisi lainnya. Sebab kondisi ini bisa bermula dari  lahir, atau ketika melewati proses kanak-kanak yang mungkin  disebabkan oleh obat-obatan ataupun kecelakaan. Sebenarnya,  secara umum mereka memiliki peluang yang sama untuk melakukan aktualisasi diri. Namun seringkali, karena lingkungan kurang mempercayai kemampuanya, terlalu menaruh rasa iba, anak-anak tuna daksa sedikit memiliki hambatan psikologis, seperti tidak percaya diri dan tergantung pada orang lain. Akibatnya penampilan dan keberadaan mereka di kehidupan umum kurang diperhitungkan. Oleh karena itu, perlakuan yang selama ini menganggap penderita tunadaksa adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan untuk hidup, perlu ditinjau lagi. Dengan kemajuan teknologi sebagaimana sekarang, penderita kelainan fisik dapat memperoleh fasilitas hidup yang lebih layak dan memadai.
4.      Tuna grahita/kelainan intelektual/kelainan mental
Perkembangan mental intelektual adalah perkembangan dalam hal  berfikir simbolik, berfikir intuitif,  berfikir praoperasional, dan perkembangan dalam hal mengolah informasi. Secara konkret perkembangan mental intelektual ini dapat kita lihat ketika anak memberikan nama kepada bonekanya, atau main lainnya, ketika anakbermain menjadi tokoh ibu atausiapapun yang diidolakannya, ketika anak mampu menggambarkan sesuatu yang ia bayangkan, ketika anak-anak menganggap mimpinya adalah sebagai sesuatu yang nyata, ketika anak menyimpulkan bahwa benda-benda matipun memiliki keinginan, perasaan dan pikiran seperti dirinya, dan bahkanketika anak sudahmampu mengklasifikan dan mengambil kesimpulan atas sesuatu konsep.
Menurut seorang tokoh psikologi perkembangan J. Piaget, perkembangan mental dimulai  bersamaan dengan fungsi sensori motor, yaitu sejak usia 0 – 2 th. Dikatakan juga oleh beberapa pakar psikologi yang lain, bahwa keterkaitan kondisi fisik utamanya fungsi sensori motor dengan perkembangan mental, sungguh sangat besar. Asumsinya, dengan semakin bertambahnya kemampuan anak secara fisik, anak akan mengeksplorasi lingkungan dan menyerap informasi-infprmasi yang akan membantu perkembangan mental intelektualnya. Ada kecenderungan semakin cepat perkembangan fisik anak, kemampuan mental intelektualnyapun akan cepat berkembang.
 Kelainan mental, adalah kondisi dimana seorang anak memiliki hambatan untuk dapat berfikir sebagaimana di atas tadi. Atau kalaupun mampu, maka kwalitas hasil berfikirkan jauh dari yang diharapkan.  Ada tidaknya kelainan mental intelektual secara pasti ditunjukkan oleh hasil tes psikologi, utamanya tes inteligensi.
Dari tes tsb akan diperoleh gambaran, apakah seseorang memiliki taraf kecerdasan rata-rata ( 90 – 109), di bawah (39 – 89) atau di atasnya (140-169). Seseorang dikatakan memiliki penyimpangan intelektual jika memiliki angka kecerdasan di bawah rata-rata dan genius. Menurut Azwar, dari sejarah penyebabnya, kelainan mental terbagi atas 2 macam, yaitu lemah mental dan cacat mental. Penderita lemah mental biasanya tidak menunjukkan   tanda-tanda kelainan fisik, tidak mempunyai sejarah penyakit atau  luka yang menyebabkan kerusakan mentalnya. Dengan kata lain kelemahan mental yang diderita tidak mempunyai dasar organik, namun seringkali didapati bahwa penderita memang mempunyai garis retardasi mental dalam keluarganya.
Adapun pada penderita cacat mental, kelainan ini disebabkan oleh terjadinya luka di otak, penyakit atau kecelakaan yang mengakibatkan pertumbuhan mentalnya tidak normal. Penyebab tersebut bisa terjadi sewaktu masih dalam kandungan, semasa masih kanak-kanak, bahkan setelah menjelang dewasa.
Secara gradasi dapat diketahui, bahwa kelainan mental cukup variatif yaitu sebagai berikut :
Moron              IQ  : 50 –70
Imbesil             IQ  : 25 – 50
Idiot                 IQ : di bawah 25.
Menurut Telford dan Sawrey, selain tingkat inteligensi, beberapa kriteria dalam identifikasi kelainan mental ini ditentukan juga oleh  kriteria perilaku adaptif, kriteria kemampuan belajar, dan kriteria penyesuaian sosial . 
5.      Keterlambatan dan Kelainan bahasa
Menurut para pakar, perkembangan fungsi berbahasa merupakan proses paling kompleks diantara seluruh fase perkembangan. Fungsi berbahasa seringkali menjadi indikator paling baik dari ada tidaknya gangguan perkembangan intelek. Bersama-sama dengan perkembangan sensori motorik, perkembangan fungsi bahasa akan menjadi fungsi perkembangan sosial.
Perkembangan bahasa memerlukan fungsi reseptif dan ekspresif. Fungsi reseptif adalah kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suaru dan akhirnya mengerti kata-kata. Fungsi ekspresif adalah kemampuan anak untuk mengutarakan pikirnnya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata. Kemungkinan adanya kesulitan berbahasa harus difikirkan bila seorang anak terlambat mencapai tahapan unit bahasa yang sesuai untuk umurnya. Unit bahasa tersebut dapat berupa suara, kata, dan kalimat. Selanjutnya fungsi berbahasa diatur pula oleh aturan tata bahasa, yaitu bagaimana suara membentuk kata, kata membentuk kalimat yang benar dan seterusnya. Keterlambatan bicara terjadi pada 3-15% anak, dan merupakan kelainan perkembangan yang paling sering terjadi. Sebanyak 1% anak yang mengalami keterlambatan bicara, tetap tidak dapat bicara. Tiga puluh persen diantara anak yang mengalami keterlambatan ringan akan sembuh sendiri, tetapi 70% diantaranya akan mengalami kesulitan berbahasa, kurang pandai atau berbagai kesulitan belajar lainnya. Seorang anak mengalami keterlambatan perkembangan bahasa jika :
tidak mau tersenyum sosial sampai 10 minggu ,  tidak mengeluarkan suara sebagai jawaban pada usia 3 bulan
Tidak ada perhatian terhadap sekitar sampai usia 8 bulan
Tidak bicara sampai usia 15 bulan
Tidak mengucapkan 3-4 kata sampai usia 20 bulan
Penyebab gangguan bicara dan berbahasa ini antara lain  karena :
·         Sistim syaraf pusat ( otak ): termasuk ini adalah kelainan mental, autism, gangguan perhatian, serta kerusakan otak.
·         Adanya gangguan pendengaran, gangguan penglihatan maupun kelainan organ bicara.
·         Faktor emosi dan lingkungan : yaitu  anak tidak mendapat rangsang yang cukup dari lingkungannya .Bilamana anak yang kurang mendapat stimulasi tersebut juga mengalami kurang makan atau child abuse, maka kelainan berbahasa dapat lebih berat karena penyebabnya bukan deprivasi semata-mata tetapi juga kelainan saraf karena kurang gizi atau child abus,. mutisme selektif,  biasanya terlihat pada anak berumur 3-5 tahun, yaitu tidak mau bicara pada keadaan tertentu, misalnya di sekolah atau bila ada orang tertentu. Atau kadang-kadang ia hanya mau bicara pada orang tertentu, biasanya anak yang lebih tua. Keadaan ini lebih banyak dihubungkan dengan kelainan yang disebut sebagai neurosis atau gangguan motivasi.
·         Kumulatif faktor di atas.
6.      Kelainan psikososial
Perkembangan psikososial adalah perkembangan yang berhubungan dengan pemahaman seorang individu atas situasi sosial di lingkungannya. Secara riil, psikososial ini meliputi bagaimana seseorang mengetahui apa yang dirasakan orang lain, bagaimana mengekspresikan perasaannya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungannya. Selain itu, psikososial juga berkaitan dengan kemampuan seorang anak melepaskan diri dari ibu atau orang penting didekatnya dan melakukan tugas-tugas yang diberikan secara mandiri. Pada saat yang bersamaan, perkembangan psikososial ini juga meliputi pemahaman seorang anak atas peraturan-peraturan yang ada di sekitarnya. 
Dengan demikian yang dimaksud dengan kelainan psikososial adalah kelainan-kelainan yang  berhubungan dengan fungsi emosi, dan perhatian terhadap sekitarnya. aya.
Beberapa penyimpangan atau kelainan perilaku yang muncul berkaitan dengan fungsi-fungsi ini antara lain  adalah :
·         Gangguan emosi, gangguan emosi tampak melalui perilaku ekstrim seperti terlalu agresif, terlalu menarik diri, berteriak, diam seribu bahasa, terlalu gembira atau terlalu sedih. Perilaku ekstrim ini muncul dalam tempo yang tidak sebentar dan dalam situasi yang tidak tepat. Masyarakat kadang-kadang membeei label pada mereka yang memiliki hambatan ini dengan sebutan “anak nakal” misalnya.
·         Gangguan perhatian, gangguan perhatian tampak sebagai kesulitan seorang anak dalam memberikan perhatian terhadap objek  disekitarnya,   sekalipun dalam waktu tidak lama. Termasuk dalam kelainan ini adalah hiperaktif, sulit memusatkan perhatian (adhd)  dan autism. Secara sekilas, penyandang gangguan ini  dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan nyentrik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan, sehingga dapat dikatakan bahwa anak-anak yang memiliki gangguan perhatian ini termasuk memiliki gangguan yang kompleks.  Untuk memastikan apakah seorang anak memiliki gangguan perhatian ini, utamanya autism, perlu dilakukan oleh dokter, psikolog, terapis, guru dan utamanya keterangan orang tua, mengenai sejarah perkembangannya.
Deteksi kelainan perkembangan dapat dilakukan oleh orang tua sejak dini. Semakin cepat orang tua menemukan kelainan-kelainan  pada anaknya akan semakin baik dan mudah penanganannya. Sebagaimana dikatakan para pakar  bahwa ada tidaknya perubahan kwalitas perkembangan anak sedikit banyak adalah  hasil  dari pembiasaan yang diterapkan oleh orang tuanya. Seorang anak yang terbiasa mendapati lingkungan yang menyenangkan (hawa udara, cahaya, suara) dan tidak mengalami hal-hal yang menakutkan atau serba tidak menentu akan cenderung menumbuhkan perasaan mempercayai sesuatu. Sebaliknya, jika seorang anak dibesarkan oleh kebiasaan yang tidak menyenangkan, ia akan tumbuh menjadi anak yang mudah curiga atau tidak mempercayai sesuatu, dingin dan acuh tak acuh . Bahkan diduga, mereka yang tidak mendapatkan hal-hal yang menyenangkan akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak memiliki belas kasih. 
H.Erikson, mengatakan bahwa kuncinya adalah pada fungsi pengindraan sebagai alat pertama untuk melakukan hubungan dan pengalaman sosial yang pada muaranya mempengaruhi reaksi dan sikap seseorang  di kemudian hari. Karena anak atau bayi paling sering memperoleh makanan melalui mulut, maka ia berhadapan pertama kali dengan lingkungan sosialnya melalui mulut. Anak akan merasakan hubungan-2 sosial yang pertama ini melalui hal-hal yang kualitatis daripada hal-hal yang kuantitatif, seperti seringnya memperoleh makanan. Dengan kata lain anak akan merasakan kehangatan cinta kasih dari ibu atau pengasuhnya, melalui caranya memberikan makanan, caranya menyusui , caranya mengajak tertawa dan berbicara dengan anak maupun cara-cara yang lain, yang ditunjukkan untuk menyatakan keberadaan si anak.  Pengalaman ini untuk selanjutnya akan menjadi bekal bagi anak atau seseorang ketika melalui hari-hari panjangnya yang lebih kompleks di kemudian hari, manakala ia melewati fase-fase berikutnya.
B. Perkembangan Intelektual Dan Emosional
Selama ini banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi belajar yang tinggi diperlukan Kecerdasan Intelektual (IQ) yang juga tinggi. Namun, menurut hasil penelitian terbaru dibidang psikologi membuktikan bahwa IQ bukanlah satu satunya faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seseorang, tetapi ada banyak faktor lain yang mempengaruhi salah satunya adalah kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Sedangkan prestasi belajar adalah hasil belajar dari suatu aktivitas belajar yang dilakukan berdasarkan pengukuran dan penilaian terhadap hasil kegiatan belajar dalam bidang akademik yang diwujudkan berupa angka-angka dalam rapor. Bila siswa memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, maka akan meningkatkan prestasi belajar. Prestasi belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan adalah:
“ Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi.
Menurut Goleman kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah. Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa.
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja. Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka.
Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang. Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas.
Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ. Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat.
Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
C. Kecerdasan Emosional
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu: fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman, mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu:
·         Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
·         Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
·         Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
·         Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
·         Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
·         Terkejut : terkesiap, terkejut
·         Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan.
Menurut Mayer orang cenderrung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirnya yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan.
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
*      Keterkaitan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Prestasi Belajar Pada Siswa
Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik di sekolah
Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas. Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif, na mun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi.
Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih. Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran ukuran emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar).
D. Kecerdasan Intelektual
*      pengertian intelektual
Intelektual itu merupakan sebuah pola pikir yang membawa keberadaan individu ketingkat yang lebih dinamis. Menurut pengertiannya dalam kamus peribahasa Indonesia, Intelek artinya kecerdasan dalam berpikir, mempunyai daya cipta atau kreativitas tinggi. Sedangkan inteletual merupakan; sebuah pola pikir yang aktif dan dinamis dalam menyampaikan, memikirkan, menelaah sesuatu dengan penjabaran yang masuk diakal (logik) dalam hal ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan orang yang mempunyai intelektual yang tinggi maka orang tersebut adalah berpikiran luas, memandang jauh kedepan, menganalisa sebuah kejadian lalu memberikan jawaban-jawaban yang tepat pada topik pembicaraan.
Individu yang mempunyai Intelektual selalu membuka diri dalam penerimaan ilmu pengetahuan, baik itu dari media maupun pengalaman dari orang lain melalui tanya jawab. Di mana pun tempat ia berada maka dengan mudahnya dalam menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya.
*      Kecerdasan Intelektual Dan Emosional Di Dunia Pendidikan Kita
Hal ini diselidiki disebuah lembaga, yang mendirikan data Bank raksasa yang diberi nama Emotion Quotient Inventory (EQI ) yaitu sebuah lembaga yang mengumpulkan data-data orang-orang yang sukses dimuka Bumi. Hasilnya sungguh tak terbantahkan dan tidak bisa lagi dipungkiri, dikatakan bahwa Kecerdasan Intelektual (IQ) itu rata-rata hanya 6 % yang membawa keberhasilan bahkan Maksimum hanya 20 %.Kecerdasan Intelektual Hanya berperan 6 % Dan Maksimal 20 % Dalam meraih keberhasilan.
Lantas bagaimana dengan kemampuan Intelektual dan Emosional kita sementara ini, mana yang lebih kita tekankan pada anak-anak kita. Anak-anak kita yang selama ini kita dorong supaya mendapatkan rangking yang tinggi, IP yang tinggi, selama ini anak-anak kita dorong agar memiliki Intelektualitas (IQ) tinggi namun mari kita lihat ternyata keberhasilan itu tidak ditentukan hanya oleh Intelektualitas (IQ) semata.
Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi, kemampuan untuk menguasai diri agar ia tetap bisa mengambil keputusan dengan tenang. Tidak cukup hanya dengan Kecerdasan Intelektual (IQ) yang kita miliki dan tidak cukup hanya Kecerdasan Intelektual (IQ) yang diajarkan kepada anak-anak jadi dibutuhkan satu kecerdasan lagi yang disebut Kecerdasan Emosional (EQ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar