·
Periode
prakelahiran (prenatal period) :
Saat dari
pembuahan hingga kelahiran. Periode ini merupakan masa pertumbuhan yang luar
biasa dari satu sel tunggal hingga menjadi organisme yang sempurna dengan kemampuan
otak dan perilaku, yang dihasilkan kira kira dalam periode 9 bulan.
·
Masa bayi (infacy) :
Periode
perkembangan yang merentang dari kelahiran hingga 18 atau 24 bulan. Masa bayi
adalah masa yang sangat bergantung pada orang dewasa. Banyak kegiatan psikologis
yang terjadi hanya sebagai permulaan seperti bahasa, pemikiran simbolis,
koordinasi sensorimotor, dan belajar sosial.
·
Masa awal anak anak (early chidhood) :
Periode pekembangan yang merentang dari masa
bayi hingga usia lima
atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah. Selama
masa ini, anak anak kecil belajar semakin mandiri dan menjaga diri mereka
sendiri, mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah (mengikuti perintah,
mengidentifikasi huruf), dan meluangkan waktu berjam jam untuk bermain dengan
teman teman sebaya. Jika telah memasuki kelas satu sekolah dasar, maka secara
umum mengakhiri masa awal anak anak.
·
Masa pertengahan dan
akhir anak anak (middle and late
childhood) :
Periode perkembangan yang merentang dari
usia kira kira enam hingga sebelas tahun, yang kira kira setara dengan tahun
tahun sekolah dasar, periode ini biasanya disebut dengan tahun tahun sekolah
dasar. Keterampilan keterampilan fundamental seperti membaca, menulis, dan
berhitung telah dikuasai. Anak
secara formal berhubungan dengan dunia yang lebih luas dan kebudayaan. Prestasi
menjadi tema yang lebih sentral dari dunia anak dan pengendalian diri mulai
meningkat.
·
Masa remaja (adolescence) :
Suatu periode transisi dari masa awal anak
anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12
tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja bermula pada
perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis,
perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti
pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada
perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol
(pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan
waktu di luar keluarga.
·
Masa awal dewasa (early adulthood) :
Periode perkembangan yang bermula pada akhir
usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir pada usia
tugapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi,
masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa pemilihan pasangan,
belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh
anak anak.
·
Masa pertengahan dewasa
(middle adulthood) :
Periode perkembangan yang bermula pada usia
kira kira 35 hingga 45 tahun dan merentang hingga usia enampuluhan tahun. Ini
adalah masa untuk memperluas keterlibatan dan tanggung jawab pribadi dan sosial
seperti membantu generasi berikutnya menjadi individu yang berkompeten, dewasa
dan mencapai serta mempertahankan kepuasan dalam berkarir.
·
Masa akhir dewasa (late adulthood) :
Periode perkembangan yang bermula pada usia
enampuluhan atau tujuh puluh tahun dan berakhir pada kematian. Ini adalah masa
penyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali
kehidupannya, pensiun, dan penyesuaian diri dengan peran peran sosial baru.
PERKEMBANGAN
Perkembangan dapat dibagi menjadi perkembangan fisik,
perkembangan intelektual, perkembangan bahasa dan perkembangan psikososial.
Perkembangan ini merupakan suatu kesatuan yang utuh, pembagian tersebut
semata-mata hanya untuk memudahkan pengamatan, diagnosis dan penanganan bila
terdapat suatu penyimpangan. Sebuah perkembangan dikatakan
mengalami penyimpangan jika menunjukkan hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya
. Ke’semestian” ini, merupakan ciri perkembangan umumnya manusia. Misalnya,
anak umur 2 tahun dikatakan memiliki penyimpangan fisik, jika pada usia ini dia
belum mampu berjalan. Anak umur 3 tahun dikatakan memiliki penyimpangan
emosi jika pada usia ini ia belum mampu diajak berkomunikasi, dsb.
Berkaitan dengan hal itu, dengan
demikian penyimpangan atau kelainan perkembanganpun meliputi 4
aspek, yaitu kelainan fisik, mental/intelektual, bahasa dan psikososial.
Anak-anak yang mengalami penyimpangan atau kelainan ini, dikalangan
profesioanl disebut dengan anak-anak khusus. Disebut
demikian, selain kekhususan perkembangannya, anak-anak dengan kelainan
tertentu, memiliki kebutuhan dan cara perawatan yang khusus pula. Berikut akan
dibahas secara garis besar.
A. Kelainan fisik
Perkembangan fisik dimulai sejak usia bayi dan berhenti
ketika anak berusia sekitar 17 th. Pada masa bayi, seseorang ada
pada masa ketergantungan penuh pada orang lain untuk bisa mempertahankan
hidup. Pada masa ini seseorang mengalami proses pertumbuhan dan
perkembangan yang menghasilkan perubahan bertahap baik dalam ukuran, bentuk
tubuh, perasaan hingga perilakunya
Menurut tokoh-tokoh psikologi seperti H.E
Erikson dan J. Piaget, kelainan fisik bisa meliputi terhambatnya perkembangan
fungsi sensori motorik anak, utamanya dalam hal fungsi penglihatan, pendengaran
dan fungsi otak. Oleh karena itu, yang tergolong dalam kelainan ini
adalah
1.
Tuna Netra
Tuna netra adalah orang yang memiliki
ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada mata yang baik, walaupun dengan
memakai kacamata, atau yang daerah penglihatannya sempit sedemikian kecil
sehingga yang terbesar jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajad. Tunanetra
dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu buta total dan kurang penglihatan (low
vision). Orang dikatakan buta total jika tidak dapat melihat dua
jari di mukanya atau hanya melihat sinar atau cahaya yang lumayan dapat
dipergunakan untuk orientasi mobilitas. Mereka tidak dapat menggunakan huruf
selain huruf braille. Adapun mereka yang tergolong low vision, adalah mereka
yang bila melihat sesuatu, mata harus didekatkan, atau mata harus dijauhkan
dari objek yang dilihatnya, atau mereka yang memiliki pemandngan kabur ketika
melihat objek.
2.
Tuna Rungu.
Penderita tunarungu adalah mereka yang memiliki hambatan perkembangan
indera oendengar. Tuna rungu tidak dapat mendengar suara atau
bunyi. Dikarenakan tidak mampu mendengar suara atau bunyi, kemampuan
berbicaranyapun kadang menjadi terganggu. Sebagaimana kita ketahui, ketrampilan
berbicara seringkali ditentukan oleh seberapa sering seseorang mendengar
orang lain berbicara., akibatnya anak-anak tunarungu sekaligus memiliki
hambatan bicara dan menjadi bisu. Untuk berkomunikasi dengan orang lain, mereka
menggunakan bahasa bibir atau bahasa isyarat. Sebagaimana anak tuna netra,
mereka memiliki potensi perkembangan yang sama dengan anak-anak lain yang tidak
mengalami hambatan perkembangan apapun.
3.
Tuna daksa
Tunadaksa adalah penderita kelainan fisik, khususnya anggota
badan, seperti tangan, kaki, atau bentuk tubuh. Penyimpangan perkembangan
terjadi pada ukuran, bentuk atau kondisi lainnya. Sebab kondisi ini bisa
bermula dari lahir, atau ketika melewati proses kanak-kanak yang
mungkin disebabkan oleh obat-obatan ataupun kecelakaan. Sebenarnya,
secara umum mereka memiliki peluang yang sama untuk melakukan aktualisasi diri.
Namun seringkali, karena lingkungan kurang mempercayai kemampuanya, terlalu
menaruh rasa iba, anak-anak tuna daksa sedikit memiliki hambatan psikologis,
seperti tidak percaya diri dan tergantung pada orang lain. Akibatnya penampilan
dan keberadaan mereka di kehidupan umum kurang diperhitungkan. Oleh karena itu,
perlakuan yang selama ini menganggap penderita tunadaksa adalah orang yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan untuk hidup, perlu ditinjau lagi. Dengan
kemajuan teknologi sebagaimana sekarang, penderita kelainan fisik dapat
memperoleh fasilitas hidup yang lebih layak dan memadai.
4.
Tuna grahita/kelainan
intelektual/kelainan mental
Perkembangan mental intelektual adalah perkembangan dalam hal
berfikir simbolik, berfikir intuitif, berfikir praoperasional, dan
perkembangan dalam hal mengolah informasi. Secara konkret perkembangan mental
intelektual ini dapat kita lihat ketika anak memberikan nama kepada bonekanya,
atau main lainnya, ketika anakbermain menjadi tokoh ibu atausiapapun yang
diidolakannya, ketika anak mampu menggambarkan sesuatu yang ia bayangkan,
ketika anak-anak menganggap mimpinya adalah sebagai sesuatu yang nyata, ketika anak
menyimpulkan bahwa benda-benda matipun memiliki keinginan, perasaan dan pikiran
seperti dirinya, dan bahkanketika anak sudahmampu mengklasifikan dan mengambil
kesimpulan atas sesuatu konsep.
Menurut
seorang tokoh psikologi perkembangan J. Piaget, perkembangan mental
dimulai bersamaan dengan fungsi sensori motor, yaitu sejak usia 0 – 2 th.
Dikatakan juga oleh beberapa pakar psikologi yang lain, bahwa keterkaitan
kondisi fisik utamanya fungsi sensori motor dengan perkembangan mental, sungguh
sangat besar. Asumsinya, dengan semakin bertambahnya kemampuan anak secara
fisik, anak akan mengeksplorasi lingkungan dan menyerap informasi-infprmasi
yang akan membantu perkembangan mental intelektualnya. Ada kecenderungan semakin cepat perkembangan
fisik anak, kemampuan mental intelektualnyapun akan cepat berkembang.
Kelainan
mental, adalah kondisi dimana seorang anak memiliki hambatan untuk dapat
berfikir sebagaimana di atas tadi. Atau kalaupun mampu, maka kwalitas hasil
berfikirkan jauh dari yang diharapkan. Ada tidaknya kelainan mental intelektual
secara pasti ditunjukkan oleh hasil tes psikologi, utamanya tes inteligensi.
Dari tes tsb
akan diperoleh gambaran, apakah seseorang memiliki taraf kecerdasan rata-rata (
90 – 109), di bawah (39 – 89) atau di atasnya (140-169). Seseorang dikatakan
memiliki penyimpangan intelektual jika memiliki angka kecerdasan di bawah rata-rata
dan genius. Menurut Azwar, dari sejarah penyebabnya, kelainan mental terbagi
atas 2 macam, yaitu lemah mental dan cacat mental. Penderita lemah mental
biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan fisik, tidak
mempunyai sejarah penyakit atau luka yang menyebabkan kerusakan
mentalnya. Dengan kata lain kelemahan mental yang diderita tidak mempunyai
dasar organik, namun seringkali didapati bahwa penderita memang mempunyai garis
retardasi mental dalam keluarganya.
Adapun pada
penderita cacat mental, kelainan ini disebabkan oleh terjadinya luka di otak,
penyakit atau kecelakaan yang mengakibatkan pertumbuhan mentalnya tidak normal.
Penyebab tersebut bisa terjadi sewaktu masih dalam kandungan, semasa masih
kanak-kanak, bahkan setelah menjelang dewasa.
Secara gradasi dapat diketahui, bahwa kelainan mental cukup variatif yaitu
sebagai berikut :
Moron
IQ : 50 –70
Imbesil
IQ : 25 – 50
Idiot
IQ : di bawah 25.
Menurut Telford dan Sawrey, selain tingkat inteligensi, beberapa kriteria
dalam identifikasi kelainan mental ini ditentukan juga oleh kriteria
perilaku adaptif, kriteria kemampuan belajar, dan kriteria penyesuaian sosial
.
5.
Keterlambatan dan Kelainan bahasa
Menurut para
pakar, perkembangan fungsi berbahasa merupakan proses paling kompleks diantara
seluruh fase perkembangan. Fungsi berbahasa seringkali menjadi indikator paling
baik dari ada tidaknya gangguan perkembangan intelek. Bersama-sama dengan
perkembangan sensori motorik, perkembangan fungsi bahasa akan menjadi fungsi
perkembangan sosial.
Perkembangan
bahasa memerlukan fungsi reseptif dan ekspresif. Fungsi reseptif adalah
kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap
kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suaru dan
akhirnya mengerti kata-kata. Fungsi ekspresif adalah kemampuan anak untuk
mengutarakan pikirnnya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat
berbicara), komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan
menggunakan kata-kata. Kemungkinan adanya kesulitan berbahasa harus difikirkan
bila seorang anak terlambat mencapai tahapan unit bahasa yang sesuai untuk
umurnya. Unit bahasa tersebut dapat berupa suara, kata, dan kalimat.
Selanjutnya fungsi berbahasa diatur pula oleh aturan tata bahasa, yaitu
bagaimana suara membentuk kata, kata membentuk kalimat yang benar dan
seterusnya. Keterlambatan bicara terjadi pada 3-15% anak, dan merupakan kelainan
perkembangan yang paling sering terjadi. Sebanyak 1% anak yang mengalami
keterlambatan bicara, tetap tidak dapat bicara. Tiga puluh persen diantara anak
yang mengalami keterlambatan ringan akan sembuh sendiri, tetapi 70% diantaranya
akan mengalami kesulitan berbahasa, kurang pandai atau berbagai kesulitan
belajar lainnya. Seorang anak mengalami keterlambatan perkembangan bahasa jika
:
tidak mau
tersenyum sosial sampai 10 minggu , tidak mengeluarkan suara sebagai
jawaban pada usia 3 bulan
Tidak ada
perhatian terhadap sekitar sampai usia 8 bulan
Tidak bicara
sampai usia 15 bulan
Tidak
mengucapkan 3-4 kata sampai usia 20 bulan
Penyebab gangguan bicara dan berbahasa ini antara lain karena :
·
Sistim syaraf pusat ( otak ): termasuk
ini adalah kelainan mental, autism, gangguan perhatian, serta kerusakan otak.
·
Adanya gangguan pendengaran, gangguan penglihatan maupun
kelainan organ bicara.
·
Faktor emosi dan lingkungan : yaitu anak tidak mendapat
rangsang yang cukup dari lingkungannya .Bilamana anak yang kurang mendapat
stimulasi tersebut juga mengalami kurang makan atau child abuse, maka
kelainan berbahasa dapat lebih berat karena penyebabnya bukan deprivasi
semata-mata tetapi juga kelainan saraf karena kurang gizi atau child abus,.
mutisme selektif, biasanya terlihat pada anak berumur 3-5 tahun, yaitu
tidak mau bicara pada keadaan tertentu, misalnya di sekolah atau bila ada orang
tertentu. Atau kadang-kadang ia hanya mau bicara pada orang
tertentu, biasanya anak yang lebih tua. Keadaan ini lebih banyak dihubungkan
dengan kelainan yang disebut sebagai neurosis atau gangguan motivasi.
·
Kumulatif faktor di atas.
6.
Kelainan psikososial
Perkembangan
psikososial adalah perkembangan yang berhubungan dengan pemahaman seorang
individu atas situasi sosial di lingkungannya. Secara riil, psikososial ini
meliputi bagaimana seseorang mengetahui apa yang dirasakan orang lain,
bagaimana mengekspresikan perasaannya dengan cara yang dapat diterima oleh
lingkungannya. Selain itu, psikososial juga berkaitan dengan kemampuan seorang
anak melepaskan diri dari ibu atau orang penting didekatnya dan melakukan
tugas-tugas yang diberikan secara mandiri. Pada saat yang bersamaan,
perkembangan psikososial ini juga meliputi pemahaman seorang anak atas
peraturan-peraturan yang ada di sekitarnya.
Dengan
demikian yang dimaksud dengan kelainan psikososial adalah kelainan-kelainan
yang berhubungan dengan fungsi emosi, dan perhatian terhadap sekitarnya.
aya.
Beberapa penyimpangan atau
kelainan perilaku yang muncul berkaitan dengan fungsi-fungsi ini antara
lain adalah :
·
Gangguan emosi, gangguan emosi tampak melalui
perilaku ekstrim seperti terlalu agresif, terlalu menarik diri, berteriak, diam
seribu bahasa, terlalu gembira atau terlalu sedih. Perilaku ekstrim ini muncul
dalam tempo yang tidak sebentar dan dalam situasi yang tidak tepat. Masyarakat
kadang-kadang membeei label pada mereka yang memiliki hambatan ini dengan
sebutan “anak nakal” misalnya.
·
Gangguan perhatian,
gangguan perhatian tampak sebagai kesulitan seorang anak dalam memberikan
perhatian terhadap objek disekitarnya, sekalipun dalam waktu
tidak lama. Termasuk dalam kelainan ini adalah hiperaktif, sulit memusatkan
perhatian (adhd) dan autism. Secara sekilas, penyandang gangguan
ini dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan
perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan nyentrik. Yang
lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara
bersamaan, sehingga dapat dikatakan bahwa anak-anak yang memiliki gangguan
perhatian ini termasuk memiliki gangguan yang kompleks. Untuk memastikan
apakah seorang anak memiliki gangguan perhatian ini, utamanya autism, perlu
dilakukan oleh dokter, psikolog, terapis, guru dan utamanya keterangan orang
tua, mengenai sejarah perkembangannya.
Deteksi
kelainan perkembangan dapat dilakukan oleh orang tua sejak dini. Semakin cepat
orang tua menemukan kelainan-kelainan pada anaknya akan semakin baik dan
mudah penanganannya. Sebagaimana dikatakan para pakar bahwa ada tidaknya
perubahan kwalitas perkembangan anak sedikit banyak adalah hasil
dari pembiasaan yang diterapkan oleh orang tuanya. Seorang anak yang terbiasa
mendapati lingkungan yang menyenangkan (hawa udara, cahaya, suara) dan tidak
mengalami hal-hal yang menakutkan atau serba tidak menentu akan cenderung
menumbuhkan perasaan mempercayai sesuatu. Sebaliknya, jika seorang anak
dibesarkan oleh kebiasaan yang tidak menyenangkan, ia akan tumbuh menjadi anak
yang mudah curiga atau tidak mempercayai sesuatu, dingin dan acuh tak acuh .
Bahkan diduga, mereka yang tidak mendapatkan hal-hal yang menyenangkan akan
tumbuh menjadi pribadi yang tidak memiliki belas kasih.
H.Erikson,
mengatakan bahwa kuncinya adalah pada fungsi pengindraan sebagai alat pertama
untuk melakukan hubungan dan pengalaman sosial yang pada muaranya mempengaruhi
reaksi dan sikap seseorang di kemudian hari. Karena anak atau bayi paling
sering memperoleh makanan melalui mulut, maka ia berhadapan pertama kali dengan
lingkungan sosialnya melalui mulut. Anak akan merasakan hubungan-2 sosial yang
pertama ini melalui hal-hal yang kualitatis daripada hal-hal yang kuantitatif,
seperti seringnya memperoleh makanan. Dengan kata lain anak akan merasakan
kehangatan cinta kasih dari ibu atau pengasuhnya, melalui caranya memberikan
makanan, caranya menyusui , caranya mengajak tertawa dan berbicara dengan anak
maupun cara-cara yang lain, yang ditunjukkan untuk menyatakan keberadaan si
anak. Pengalaman ini untuk selanjutnya akan menjadi bekal bagi anak atau
seseorang ketika melalui hari-hari panjangnya yang lebih kompleks di kemudian
hari, manakala ia melewati fase-fase berikutnya.
B. Perkembangan Intelektual Dan Emosional
Selama ini banyak orang yang berpendapat
bahwa untuk meraih prestasi belajar yang tinggi diperlukan Kecerdasan
Intelektual (IQ) yang juga tinggi. Namun, menurut hasil penelitian terbaru
dibidang psikologi membuktikan bahwa IQ bukanlah satu satunya faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar seseorang, tetapi ada banyak faktor lain yang
mempengaruhi salah satunya adalah kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional
adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan
untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Sedangkan prestasi
belajar adalah hasil belajar dari suatu aktivitas belajar yang dilakukan
berdasarkan pengukuran dan penilaian terhadap hasil kegiatan belajar dalam
bidang akademik yang diwujudkan berupa angka-angka dalam rapor. Bila siswa memiliki kecerdasan emosional
yang tinggi, maka akan meningkatkan prestasi belajar. Prestasi belajar menurut
Yaspir Gandhi Wirawan adalah:
“ Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”
“ Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”
Proses belajar di
sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang
berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang
harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi
merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada
gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam
buku Winkel hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan
mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai
tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya,
dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak
dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada
siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi
belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya
relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya
taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan
keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi.
Menurut Goleman kecerdasan
intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah
sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan
emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri,
mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood),
berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses
belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat
berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata
pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu
saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan
belajar siswa di sekolah. Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan
rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja,
melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa.
Hasil beberapa
penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak
manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam
peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi
rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi
belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang
harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja. Memang
harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan
mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti
pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka.
Namun fenomena
yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi
rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi
belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat
memperkirakan prestasi belajar seseorang. Kemunculan istilah kecerdasan
emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai
jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul
bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas.
Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ. Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ. Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman,
khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi,
mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis,
rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit
mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat.
Bila didukung
dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini
sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang
memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung
akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi,
tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan
cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh
orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi.
C. Kecerdasan Emosional
Kata emosi berasal
dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini
menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Menurut Daniel Goleman, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang
khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk
bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi
merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai
contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga
secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku
menangis.
Emosi berkaitan
dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah
satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan
motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku
intensional manusia JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu: fear
(ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman, mengemukakan
beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu:
·
Amarah
: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
·
Kesedihan
: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
·
Rasa
takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak
tenang, ngeri
·
Kenikmatan
: bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
·
Cinta
: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti,
hormat, kemesraan, kasih
·
Terkejut
: terkesiap, terkejut
·
Jengkel
: hina, jijik, muak, mual, tidak suka
Seperti yang telah
diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah
dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu
untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam
the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan,
karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan
emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan
memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan
hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal
itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai
emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara
mengekspresikan.
Menurut Mayer
orang cenderrung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi
mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan
melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan
emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang
di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong
individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar dirnya yang mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan.
Gardner dalam bukunya yang
berjudul Frame Of Mind mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang
monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada
spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik,
matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal.
Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh
Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Goleman, kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its
expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi
diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan
orang lain.
Keterkaitan Antara Kecerdasan Emosional
Dengan Prestasi Belajar Pada Siswa
Kecerdasan emosional merupakan
salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang
memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik di sekolah
Di tengah semakin ketatnya
persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila
para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan
dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas. Banyak usaha
yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang
terbaik seperti mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif,
na mun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai
keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut
adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak
memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun
kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu
mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca
dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan
keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan
berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi.
Sedangkan individu yang tidak
dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan
batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya
dan memiliki pikiran yang jernih. Sebuah laporan dari National Center for
Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan
diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk
membaca, melainkan oleh ukuran ukuran emosional dan sosial : yakni pada diri
sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan
bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu,
mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta
mengungkapkan kebutuhan kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua
siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki
satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan
apakah mereka juga mempunyai kesulitan kesulitan kognitif seperti
kertidakmampuan belajar).
D. Kecerdasan Intelektual
pengertian intelektual
Intelektual itu merupakan
sebuah pola pikir yang membawa keberadaan individu ketingkat yang lebih
dinamis. Menurut pengertiannya dalam kamus peribahasa Indonesia, Intelek
artinya kecerdasan dalam berpikir, mempunyai daya cipta atau kreativitas
tinggi. Sedangkan inteletual merupakan; sebuah pola pikir yang aktif dan
dinamis dalam menyampaikan, memikirkan, menelaah sesuatu dengan penjabaran yang
masuk diakal (logik) dalam hal ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan orang yang
mempunyai intelektual yang tinggi maka orang tersebut adalah berpikiran luas,
memandang jauh kedepan, menganalisa sebuah kejadian lalu memberikan
jawaban-jawaban yang tepat pada topik pembicaraan.
Individu yang mempunyai
Intelektual selalu membuka diri dalam penerimaan ilmu pengetahuan, baik itu
dari media maupun pengalaman dari orang lain melalui tanya jawab. Di mana pun
tempat ia berada maka dengan mudahnya dalam menyesuaikan diri dengan keadaan
sekitarnya.
Kecerdasan Intelektual Dan Emosional Di
Dunia Pendidikan Kita
Hal ini diselidiki disebuah
lembaga, yang mendirikan data Bank raksasa yang diberi nama Emotion Quotient
Inventory (EQI ) yaitu sebuah lembaga yang mengumpulkan data-data orang-orang
yang sukses dimuka Bumi. Hasilnya sungguh tak terbantahkan dan tidak bisa lagi
dipungkiri, dikatakan bahwa Kecerdasan Intelektual (IQ) itu rata-rata hanya 6 %
yang membawa keberhasilan bahkan Maksimum hanya 20 %.Kecerdasan Intelektual
Hanya berperan 6 % Dan Maksimal 20 % Dalam meraih keberhasilan.
Lantas bagaimana dengan
kemampuan Intelektual dan Emosional kita sementara ini, mana yang lebih kita
tekankan pada anak-anak kita. Anak-anak kita yang selama ini kita dorong supaya
mendapatkan rangking yang tinggi, IP yang tinggi, selama ini anak-anak kita
dorong agar memiliki Intelektualitas (IQ) tinggi namun mari kita lihat ternyata
keberhasilan itu tidak ditentukan hanya oleh Intelektualitas (IQ) semata.
Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan untuk
mengendalikan emosi, kemampuan untuk menguasai diri agar ia tetap bisa
mengambil keputusan dengan tenang. Tidak cukup hanya dengan Kecerdasan
Intelektual (IQ) yang kita miliki dan tidak cukup hanya Kecerdasan Intelektual
(IQ) yang diajarkan kepada anak-anak jadi dibutuhkan satu kecerdasan lagi yang
disebut Kecerdasan Emosional (EQ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar